Monthly Archives: Maret 2007

Meditasi Penyeimbangan Kelenjar

 Meditasi Penyeimbangan Kelenjar

Endokrin

Meditasi ini didesain untuk menyeimbangankan fungsi otak dan sistem
endokrin, mulai dari istana kristal, yang terletak tepat dibelakang
pertengahan alis, dan di bawah ubun-ubun, di tengah kepala. Organ-
organ otak mayor terdapat pada istana kristal  – hypothalamus,
amygdala, kelenjar pineal, dan pituitary terdapat di antaranya.
Kelenjar endokrin merupakan struktur halus  berikutnya di tubuh
setelah chakra, dan dekat dengan chakra. Kelenjar ini menghasilkan
hormon dan “neutrotransmitter” yang mengatur banyak fungsi tubuh dan
yang membuatnya unik karena menggunakan aliran darah daripada
saluran tubuh (duct) untuk mengalirkan hormonnya.

Mulai dengan pemusatan. Latihan ini  dapat dilakukan berdiri atau
duduk tetapi  yang penting adalah relaks (dan tidak jatuh). Tutup
kedua mata, dan kemudian buka sedikit, tetapi daripada melihat pada
suatu fokus, tataplah ke bawah dan jaga mata tidak tegang, jangan
mencoba untuk melihat sesuatu.  Bayangkan kita berada di tengah-
tengah kubah dengan cahaya berwarna ungu yang memanjang ke bawah
dari Bintang Utara melingkupi tubuh kita hingga ke bumi. Ketika kita
fokus pada tengah-tengah kubah, niatkan untuk tersenyum pada setiap
kelenjar. Ikuti intuisi untuk menuntun kita bertahan berapa lama
pada setiap kelenjar. Ketika kita bernafas, bayangkan bahwa energi
mengalir dalam bentuk spiral.

Mulai bernafas melalui mata kiri, ke kelenjar pineal di istana
kristal, dan dari sana, salurkan kembali ke pusat occipital ridge,
benjolan kurus di belakang kepala. Tahan selama beberapa detik,
bayangkan energi bergerak spiral di sana. Kemudian keluarkan kembali
ke istana kristal, keluar melalui mata kanan dan ke titik di depan
kita sejauh yang dapat dijangkau dengan ibu jari kita. Pusatkan
pikiran kita pada pineal, pituitary dan organ otak yang lain.
Kelenjar pineal merespon cahaya dari mata ketiga dan menentukan
waktu internal dan mensinkronkan dengan waktu atau hari dan musim.

Lanjutkan, saat ini mulai dengan menarik nafas melalui mata kanan,
keluar melalui mata kiri, dan kemudian bergantian. Setelah itu,
bayangkan kita bernafas melalui pertengahan alis, daripada mata.
Biarkan intuisi yang menuntun kita untuk bertahan berapa lama pada
masing-masing tempat.

Selanjutnya, alirkan energi ke bawah melalui saluran pusat di pusat
tubuh kita dari istana kristal ke tenggorokan. Tarik nafas dari
suatu titik di depan tenggorokan; perpanjang nafas itu melalui tubuh
dan keluar dari leher, dan kemudian di balik, dan bernafas dari
belakang leher dan keluarkan dari tenggorokan. Pusatkan pikiran kita
pada kelenjar thyroid dan parathyroid. Kelenjar thyroid mengatur
metabolisme dan suhu tubuh. Kelenjar parathyroid khususnya pada
pengaturan metabolisme kalsium.

Alirkan energi ke bawah melalui saluran pusat ke pusat jantung. 
Bernafas melalui jantung, alirkan energi melalui tubuh dan keluarkan
melalui tulang belakang di belakang jantung. Kemudian balik
nafasnya. Fokus pada kelenjar thymus. Kelenjar thymus menghasilkan
sel T, pivotal pada fungsi sistem kekebalan tubuh.

Alirkan energi ke solar plexus, antara tulang rusuk dengan pusar.
Bernafas melalui solar plexus dan keluarkan melalui ruang antara
thoracic terakhir dan lumbar vertebra yang pertama. Kemudian
dibalik, bernafas dari belakang dan keluarkan dari depan. Fokus pada
pankreas, yang memiliki fungsi endokrin dan eksokrin. Hormon
endokrin adalah insulin, yang mengatur gula darah.

Alirkan energi ke pusat seks. Bernafas dari depan tubuh  dan
keluarkan melalui ujung sacrum, rasakan hubungan ke ovarium atau
testis. Kemudian di balik, bernafas dari sacrum  dan keluarkan
melalui ujung pubic bone. Fokus pada gonad, yang mengatur fungsi
kelenjar reproduksi.

Alirkan energi ke perinium, antara vagina atau penis dengan anus.
Bernafas melalui cakra dasar dan keluarkan melalui cakra mahkota.
Kemudian di balik, menarik nafas dari cakra mahkota dan di
keluarkan  melalui perinium. Fokus pada kelenjar adrenalin, di atas
ginjal. Kelenjar adrenalin terutama berhubungan dengan kelangsungan
hidup, membantu kita menangani stres dengan fleksibel dan menyiapkan
kita untuk bertahan hidup.

Hubungkan energi dari perinium ke pusat seks, pusat seks ke solar
plexus, solar plexus ke jantung, jantung ke tenggorokan,
tenggorokan  ke kelenjar pineal dan kemudian di balik, berhenti
sejenak  dan melakukan gerakan spiral pada setiap pusat. Ulangi
hingga semua pusat terasa terbuka dan seimbang dalam hubungan satu
sama lainnya.

Duduklah dengan tenang, biarkan nafas menjadi santai, biarkan
seimbang. Biarkan diri kita memperhatikan penyesuaian pada tubuh 
yang berlangsung secara spontan. Nikmati rasa itu. Semakin sering
kita melatih, semakin cepat kita bisa kembali dalam keadaan ini.
Catat semua perubahan yang terjadi pada aspek psikologi, emosional,
mental atau spiritual.
Kelenjar endokrin merupakan penemuan anatomi yang terbaru, baru
terkuak rahasianya pada abad terakhir ini. Kelenjar ini paling halus
dari struktur tubuh fisik, berkaitan dengan chakra. Yang kemudian
membentuk kolam energi di dalam, di atas, maupun di bawah tubuh.

Pentingnya pusat energi ini telah dikenal oleh berbagai kebudayaan
asli di seluruh dunia. Teknik untuk memusatkan dan menyeimbangkan
energi chakra melalui meditasi dan latihan ditemukan di banyak
tradisi. Posisi Yoga dan meluruskan energi chakra. Para Taois
menyalurkan chi dengan Orbit Mikrokosmos, yang menghubungkan setiap
pusat energi dan membantu menyeimbangkannya. Pada tradisi cherokee
ada kumpulan nyanyian/mantra dan visualisasi untuk membantu
perkembangan pada setiap pusat energi.

Kelenjar pineal, sering disebut kelenjar master, memiliki hubungan
utama dengan mata ketiga. Jumlah dan intensitas cahaya masuk melalui
titik antara dua alis, mempengaruhi kelenjar pineal. Apa hari ini
siang atau malam? Musim semi atau gugur? Sebaliknya, kelenjar pineal
menentukan waktu internal, menentukan berapa banyak dan hormon yang
mana yang akan keluar dan kapan. Sebagai contoh keseimbangan ini
adalah hormon DHEA dan Melatonin. Melatonin mengalami puncaknya pada
malam hari, membantu menyediakan tidur yang nyenyak. DHEA paling
banyak pada pagi hari, menyediakan energi untuk kegiatan aktif
sehari-hari. Jika hormon-hormon ini tidak bekerja dengan seimbang,
tidur akan terganggu dan selama siang hari, seseorang dapat
mengalami kelelahan.

Kelenjar endokrin sangat khusus karena hormon yang dihasilkan
mengalir melalui aliran darah ke organ-organ dan kelenjar-kelenjar
tujuan daripada melalui aliran lain. Hormon tersebut, bersama dengan
neutrotransmitter, mengatur fungsi seluruh tubuh.

Kita memulai kehidupan dengan cahaya buatan dengan perkembangan bola
lampu dan listrik pada abad terakhir. Dimulai tahun 1950-an malam
hari menjadi lebih lambat karena adanya televisi. Pada akhir abad
banyak aktivitas yang bisa dilakukan selama 24 jam.  Banyak toko
retail tetap buka. Banyak perumahtangga bertambah berjalan-jalan dan
berbelanja sepanjang waktu.

Aliran masuk cahaya buatan mengambil tempat pada sistem endokrin,
sehingga pengaturan diri menjadi lebih berat. Banyak orang memiliki
ketidakseimbangan hormon, meskipun banyak yang tidak perhatian
terhadap sumber depresi mereka. Beberapa memiliki gelaja kronis
seperti sakit kepala atau sakit perut atau menjadi sakit ketika
stres tetapi tidak membuat hubungan antara gejala-gejala tersebut
dengan penderitaan sistem endokrin.

Faktor yang lain juga membuat gangguan pada keseimbangan. Hormon
yang ditambahkan pada cadangan energi kehidupan akan membuatnya
bertambah lebih gemuk, lebih cepat, tetapi ketika daging dicerna,
hormon ini akan menciptakan kebingungan fisiologikal. Saluran
telepon, komputer, listrik, dan kabel adalah bagian dari teknologi
yang menghasilkan elektromagnetik yang dapat mengganggu sistem
energi tubuh.

Hal yang ditambahkan pada fenomena ini adalah peningkatan campuran
foton ke dalam planet, bagian dari siklus astronomi yang sangat
luas. Sistem matahari merupakan orbit elips yang membawa kumpulan
foton setiap 11.500 tahun. Sangat sulit bagi manusia untuk
memperoleh siklus yang sangat besar tersebut. Masuk ke dalam
kumpulan cahaya tersebut dapat menjadi tanda kreatifitas besar.
Energinya netral. Pada level praktisi, kita perlu meningkatkan
kapasitas sistem energi kita – aura, chakra, dan meridian – untuk
membawa lebih banyak energi. Tubuh dapat mengembangkan kapasitasnya
untuk menyalurkan energi yang besar dan menyalurkannya ke bumi.

Jika kita belum melakukan persiapan, kita akan mengalami peningkatan
emosi yang kuat dan merasa tidak terkontrol. Pada tingkat pribadi,
ini dapat dipikirkan sebagai pengujian masalah dari struktur energi
halus. Konsekuensinya serius. Gelombang energi emosi dari sumber
universal begitu besar untuk disesuaikan dengan saluran energi yang
ada. Seperti komputer atau perlengkapan listrik lainnya yang
menunjukkan pada sumber dayanya, kita akan menyaksikan irasional,
ungkapan kekerasan misterius. Di tinjau dari alam, kita akan melihat
gempa bumi, air bah, dan petir yang mencelakakan. Dari tingkah laku,
kita melihat kekerasan dan kemarahan, pembunuhan, pembersihan etnik,
dan tindakan barbar lainnya. Dapat juga berupa masalah penyakit
besar dan suatu epidemi atau tekanan. Semua yang menakutkan terjadi
menunjukkan bukti bahwa energi lebih besar daripada kapasitas bumi
dan orang-orang yang mendiaminya.

Teknologi, cahaya buatan, dan energi yang besar dapat memproduksi
lebih cepat dibandingkan dengan adaptasi tubuh yang dapat dilakukan.
Pada tingkat ini, manusia dapat turut serta pada proses evolusinya
sendiri dengan menggunakan perhatian sadar untuk memacu fungsi
fisiologi. Latihan Chikung berguna untuk melatih tubuh, memperbesar
kapasitas meridian untuk membawa energi, cahaya. Tubuh cahaya perlu
diperbesar untuk mengakomodasi campuran foton. Jika itu terbentuk,
energi secara baik akan dapat disalurkan dan kekerasan yang dapat
terjadi bisa dikurangi.

Meditasi penyeimbangan Kelenjar Endokrin ditawarkan sebagai cara
sederhana tetapi teknik meditasi yang bagus untuk membantu
mengembangkan kapasitas kita untuk tetap seimbang pada saat ini.
Semakin sering kita melakukannya, semakin banyak efek positif yang
dihasilkan, untuk bumi, sosial, politik, lingkungan, dan kesehatan.
Sekali kita mengalami meditasi ini, jangan membatasi diri kita pada
saat meditasi saja, tetapi ingatkan diri kita, biarkan nafas kita
mengalir melalui pusat-pusat vital diri. Ini akan membantu kita
untuk tetap terikat dengan bumi, sehingga angin tidak dapat
mengganggu kita. Cobalah. Lihat warna yang datang di setiap pusat
energi. Coba bernafas melalui semua pusat energi sekaligus,
bayangkan kita bernafas dalam warna pelangi. Jika kita mengalami
cuaca buruk, bayangkan kita menarik angin topan melalui kolam energi
kita untuk membantu menenangkan sistem cuaca. Jika kita mendapati
diri kita berada di tengah-tengah lingkungan yang tidak
menyenangkan, bernafas melalui tubuh cahaya untuk menenangkan diri
kita dan orang-orang di sekitar kita.

Keajaiban Jari Jemari

Keajaiban Jari Jemari    
 

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. 36. Yaasin: 65)

Di antara ni’mat Allah yang besar kepada manusia adalah diberikannya tangan dan kaki yang sangat besar manfaat kegunaannya. Di ujung tangan itu ada jari jemari yang memiliki banyak sekali fungsi dan kegunaan. Selain untuk mengambil, meletakkan atau membawa sesuatu bersama telapak tangan jari jemari dapat mengepal, memijit, menggosok, memukul, menonjok, menjitak, memilin, memelintir, meremas, membelai, menusuk, mencengkeram, dan lain-lain.

Jari-jemari tangan kita kiri kanan masing-masing terdiri dari 5 sehingga semuanya ada 10 dan masing-masing memiliki 4 ruas (kecuali jempol = 3 ruas) sehingga jumlah keseluruhannya 38 ruas.

Tahukah anda, jumlah jari jemari anda mengandung keajaiban angka 19 ? (catatan: dengan mengabaikan ruas-ruas tulang pergelangan). Silakan anda hitung sendiri maka akan anda dapati sbb:

jari kelingking        ==> ada empat ruas
jari manis             ==> ada empat ruas
jari tengah            ==> ada empat ruas
jari telunjuk          ==> ada empat ruas
jari jempol (ibu jari) == > ada tiga  ruas
———————– +
( 4 + 4 + 4 + 4 + 3 ) Total jumlah = 19 ruas

Keduanya berfungsi seimbang dan dapat bekerjasama dengan baik untuk kepentingan sang pemilik. Keseluruhan ruas jari ini ini dapat ditekuk-tekuk sedemikian rupa sehingga bersama dengan telapak tangan dapat melakukan banyak aktifitas. Bila satu ruas saja bermasalah, pemiliknya pasti akan merasa susah. Jika satu saja jari Anda terkilir, dapat dipastikan Anda akan menjadi repot. Jari jemari yang posisinya seimbang itu dilengkapi dengan kuku-kuku bermanfaat. Dia bisa digunakan untuk mencubit, mengambil barang yang kecil dengan jalan mencabut, jari dan kuku juga berfungsi untuk keindahan.

Kebaikan dan Keburukan Setiap jari – ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking punya aktifitas masing-masing sesuai profesi pemiliknya. Ada yang sering dipakai untuk menjahit, memegang uang, memegang cangkul, mesin, mengetik, dan lain-lain. sesuai dengan jenis kerja pemiliknya. Jari jemari sangat penting bagi para olahragawan yang keahliannya menggunakan tangan dan para seniman yang berkarya dengan jemarinya.. Aktifits jari jemari memang untuk membantu manusia melaksanakan pekerjaan dan merealisasikan keinginannya.

Gerakan-gerakan jari-jemari pun memiliki makna sendiri-sendiri. Acungan jempol misalnya berarti ungkapan, “bagus” atau “hebat”. Anda tidak mendapat sesuatu yang Anda inginkan atau “kecele” biasanya diistilahkan dengan “gigit jari”. Jari-jemari pun jadi alat isyarat. Ketika kita menyatakan persabatan kita pun berjabat tangan yang merekatkan telapak tangan dan jari jemari kita ke tangan sahabat kita. Jari yang telunjuk yang ditaruh tegak di depan mulut berarti “Hati-hati” atau “Berhentilah bicara”. Jari yang diletakkan melintang di kening menandakan bahwa pelakunya hendak memberi tahu bahwa seseorang itu tidak waras (sinting). Telunjuk yang diarahkan kepada seseorang berarti menuding. Bila kesemua jari dan telapak tangan diangkat ke atas berarti lambaian. Banyak isyarat lain dilakukan dengan jari.

Al Qur-an juga menggambarkan fungsi jari sebagai alat isyarat. Orang munafik yang menolak kebenaran dalam Al Qur-an dilukiskan sebagai orang-orang yang menyumbat kuping dengan jarinya.

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir . (QS. 2. Al Baqarah:19)

Menyumbat telinga dengan jari dalam ayat di atas adalah kiasan menutup hati dari bimbingan hidayah Allah. Inilah kiasan terhadap orang-orang munafik yang hatinya berpenyakit dan enggan menerima kebenaran.

Para koruptor menggunakan jari jemarinya untuk memindahkan angka-angka hitungan uang dalam memanipulasi para pemeriksa keuangan di tempatnya bekerja. Jempol dan telunjuk digunakan menulis dengan pulpen atau pinsil di atas kertas. Seorang direktur menandatangani surat-surat penting dengan pulpennya. para pelajar mencatat pelajaran, para pelukis menggambar di atas kanvas, dan lain-lain.

Jari jemari digunakan untuk keburukan misalnya oleh para pengarang yang mengotak-ngatik tulisan sehingga menyesatkan orang lain. Ujung jari-jemarinya digunakan untuk menekan tuts huruf di atas keyboard ketika membuat tulisan yang membangkitkan selera rendah orang lain. Seorang pembunuh yang menggunakan pistol memakai telunjuknya untuk menarik picu pistolnya sehingga pistol itupun memuntahkan peluru. Para penjahat dan pelaku kecurangan menggunakan jari jemari dalam menjalankan aksinya,

Sebaliknya jari jemari juga dilakukan untuk kebaikan dan ibadah kepada Allah. Dengan jari jemari Anda dapat menolong orang lain. Anda yang sedang berzikir kepada Allah juga menggunakan jari jemari untuk menghitung puji-pujian terhadap Allah. Jumlah kalimat thoyyibah : Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar biasanya dihitung masing-masing 33 kali sedangkan istighfar dan Laa ilaha-illallah 100 kali sehingga mudah dilakukan dengan menekan jari jemari yang berjumlah 30 dan ditambah 3. Ketika Anda berdiri dalam sholat jari-jari tangan sebelah kanan di taruh di atas tangan kiri. Jari telunjuk pun diacungkan ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat di dalam sholatnya. Karena itu jari jemari ini tahu persis apa yang telah dilakukan pemiliknya.. Apakah jari Anda digunakan berdzikir, bersyahadat ataupun melaksanakan ibadah lainnya. Apakah dia membuat kebaikan ataukah keburukan, semua ada balasannya.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. 9. Az Zalzalah:7-8)

Menjadi Saksi Kendati banyak sekali fungsi dan perannya, jari jemari tidak menentukan segalanya dalam aktifitas hidup manusia. Sebab pengendali utama hidup manusia adalah hatinya. Jika hatinya sehat manusia menjadi baik. Jika harinya berpenyakit maka perbuatannya pun akan buruk. Jari jemari melakukan tugas yang diperintahkan otak manusia. Otak ini dikendalikan hati yang terdapat di dalam dada. Dengan sangat indah Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam menggambarkan bahwa hati mukmin berada di antara jemari Ar Rahmaan

Maksudnya Allah teramat dekat dengan manusia sehingga sewaktu-waktu dapat membolak-balik hatinya dari posisi beriman menjadi kufur atau dari kufur menjadi mukmin. Setiap muslim dituntut memelihara imannya dan berdo’a kepada Allah,

Ya Allah yang mampu membolak-balik hati teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu (Al hadits)

Muslim hendaknya memelihara keteguhan hatinya di dalam agama Allah dan mencegah jari jemarinya dari perbuatan durhaka. Sebab, jari jemari itu akan menjadi saksi atas apa yang diperbuat pemiliknya. Al Qur-an menyatakan tentang kondisi hari kiamat dimana jari jemari manusia yang telah hancur bercampur tanah akan dikembalikan,

Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (QS. 75. Al Qiyamah:4)

Inilah penggambaran yang sempurna tentang kehidupan sesudah mati. Allah akan menyusun kembali tulang belulang manusia yang berserakan. Bahkan setiap ruas jari-jemari akan kembali utuh sebagaimana semula.. Si empunya jari jemari itu pun dituntut pertanggungjawaban terhadap apa yang telah diperbuat nya.

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. 36. Yaasin:65)

Tidak itu saja, persaksian terhadap sikap, ucapan, dan perilaku bukan hanya disampaikan oleh jari jemari tetapi juga oleh kulit manusia. Karena seperti halnya jari jemari setiap sel kulit akan kembali seperti semula untuk memberikan persaksian terhadap apa yang diperbuat oleh pemiliknya…

Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 41. Fushshilat:20)

Mukjizat Allah, tanda 99 (Asmaul Husna) pada telapak tangan anda

Tahukah sahabat, garis utama kedua telapak tangan kita, (lihat attachment), bertuliskan dalam angka Arab yaitu : |/\ pada telapak tangan kanan, artinya : 18 dan /\| pada telapak tangan kiri, artinya : 81

Jika kedua angka ini dijumlahkan, 18+81 = 99, 99 adalah jumlah nama/sifat Allah, Asmaul Husna yang terdapat dalam Al-Quran !

Bila 18 dan 81 ini dirangkaikan, maka terbentuk angka 1881. Angka ini adalah angka kelipatan 19 yang ke-99 ! ( 19 x 99 = 1881 )

Seperti diketahui angka 19 adalah fenomena tersendiri dalam Al-Quran, yang merupakan bukti kemukjizatan al-Quran.

Tahukah anda, bahwa ruas-ruas tulang jari (tapak tangan maupun telapak kaki) anda, terkandung jejak-jejak nama Allah, tuhan yang sebenar pencipta alam semesta ini. Kalau nggak percaya bisa didemonstrasikan. Silakan perhatikan salah satu tapak tangan anda (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi dengan seksama:

jari kelingking                          ==> membentuk huruf alif
jari manis, jari tengah, & jari telunjuk == > membentuk huruf lam (double)
jari jempol (ibu jari)                   ==> membentuk huruf ha’

Jadi jika digabung, maka bagi anda yang mengerti huruf Arab akan mendapati bentuk tapak tangan itu bisa dibaca sebagai Allah (dalam bahasa Arab).

Maka benarlah firman Allah SWT : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” QS. Fushshilat 41:53

 

KEAJAIBAN SIDIK JARI

Ilmu pengetahuan modern menyingkap banyak hal yang membuat keimanan seorang mukmin terhadap keterangan Al Qur-an semakin mantap. Ayat-ayat Allah di dalam Al Qur-an menjadi benar-benar jelas tergambar dan terbukti kebenarannya manakala kita melihat bukti-bukti nyata dalam alam semesta dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam kasus pembunuhan misalnya, Polisi dapat mengidentifikasi kejahatan berdasarkan sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku di tubuh korban. Hal ini disebabkan struktur sidik jari setiap orang berbeda satu dengan lainnya. Bila kelak penjahat itu telah ditemukan maka untuk membuktikan kejahatannya sidik jarinya akan dicocokkan dengan sidik jari yang ada dalam tubuh korban.. Maka si penjahat tidak dapat memungkiri perbuatannya di hadapan polisi.

Karena itu pula seorang yang mau menggunakan ATM (Anjungan tunai Mandiri) di masa depan mungkin tidak perlu lagi menggunakan kode-kode PIN yang perlu dia ingat. Cukup dengan menaruh telapak tangan di atas mesin yang dapat mengidentifikasi dirinya. Jumlah uang yang diinginkan pun tidak perlu ditekan-tekan lagi tetapi cukup dengan diucapkan dan komputer akan menerjemahkannya dalam bahasa angka. Berapa jumlah uang yang Anda minta akan diberikan dan uang di rekening Anda akan dipotong dengan sendirinya.

Pintu rumah di zaman yang akan datang tidak perlu lagi dikunci dengan alat kunci tradisional tetapi bisa dibuka oleh alat sensor yang hanya mengenal jari-jari orang tertentu saja… Demikian juga stir mobil akan mengenal hanya pengemudi tertentu saja karena ada sensor yang mengenal jari pemiliknya.

Keistimewaan pada jari jemari manusia menunjukkan kebenaran firman Allah yang menyatakan bahwa segala sesuatu ada bekasnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan bekas-bekas ini untuk dituntut di yaumil akhir nanti.

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 36. Yaasin:12)

Tasawuf

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Sebagai bahan untuk memahami mengenai tahapan-tahapan
Tasawuf, kami memuat tulisan tulisan Drs. Mahjuddin, dosen tetap pada
Fakultas Tarbiyah Jember, IAIN “Sunan Ampel” dalam bukunya “Kuliah
Akhlaq-Tasawuf” dan diterbitkan oleh Penerbit Kalam Mulia, Jakarta Pusat 10560

Tahapan-Tahapan Tasawuf

      Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran
Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
      Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:

1.Syariat

      Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar
Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan
oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”

      Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy
mengatakan:
“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang
telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun
dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu
Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”

      Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid;
meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari
Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam
perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan
meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh.

      Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau
taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama
manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah”
(ibadah umum).

      Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan
najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha
melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan
terpuji, dengan istilah “At-Thalli”.

      Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang
tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena
itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan
manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid.
Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang
mungkar.

2. Tarekat

Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat
atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau
“Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga
macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:

1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.

2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang
tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal
mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang
diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di
bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan
suatu tujuan.

Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan
Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah
Tarekat mempunyai dua macam pengertian.

a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai
suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”
dan “Al-Ahwaal”.

b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran
yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut
aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.

Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu
amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun
kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga
disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat
dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi
organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk
tidak sama.

Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan
dari dua segi:

a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara
pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh
manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak
pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.

b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat
yang membedakannya beserta alasan-alasannya.

Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj  mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.

Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:

a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b)  Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh,
     serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d)  Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;

a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
     (Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan  (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).

Hakikat :

Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :

“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan
mata hatinya”.

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada
hamba-Nya”.

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu
menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena
itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran
Allah sebagai penciptanya;

2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”.

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat
kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal
Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

Marifat :

Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam
dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara
lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:

“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth
Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:

“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:

“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat
ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya).”

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai
kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

         Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin
Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

         Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat
ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah
larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin,
kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut  (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang
Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan
Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

         Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk
pula secara terputus-putus.

         Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Sejarah kota Cirebon

cirebon

kupasan seluk beluk “cirebon” dan geliatnya di bumi pertiwi

Friday, January 30

Event Pariwisata Upacara Adat 

Syawalan Gunung Jati
Setiap awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon umumnya melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di samping itu juga untuk melakukan tahlilan

Ganti Welit
Upacara yag dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi untuk mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara dilakukan oleh masyarakat Trusmi. Biasanya dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.

Rajaban
Upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan dari kedua Pangeran tersebut. Dilaksanakan setiap 27 Rajab. Terletak di obyek wisata Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.

Ganti Sirap
Upacara yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang Kulit dan Terbang.

Muludan
Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Yaitu kegiatan membersihkan / mencuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah Panjang Jimat. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan dilaksanakan di Keraton.

Salawean Trusmi
Salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Di samping itu juga dilaksanakan tahlilan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud.

N a d r a n
Nadran atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan oleh nelayan dengan tujuan untuk keselamatan dan upacara terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rezeki. Dilaksanakan dihampir sepanjang pantai (tempat berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan bervariasi.

Obyek dan Daya Tarik Wisata Cirebon 

Makam Sunan Gunung Jati
Dihiasi dengan keramik buatan Cina jaman Dinasti Ming. Di komplek makam ini di samping tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati juga tempat dimakamkannya Fatahilah panglima perang pembebasan Batavia. Lokasi ini merupakan komplek pemakaman bagi keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon.

T r u s m i
Sentra batik tradisional Cirebon yang memiliki motif khas Cirebonan. Terletak 9 Km dari Ibukota Cirebon ke arah utara (di desa Trusmi, Kecamatan Weru). Di samping itu terdapat juga makam Ki Buyut Trusmi yaitu salah seorang tokoh penyebar Agama Islam di Wilayah Cirebon.

Makam Nyi Mas Gandasari
Salah seorang murid Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran Agama Islam, terkenal dengan kemampuan ilmunya yang tiada tanding. Terletak di desa Pangurangan Kecamatan Panguragan atau 27 Km dari Ibukota Sumber.

Makam Syekh Magelung Sakti
Merupakan salah satu seorang pendekar yang dapat mengalahkan Nyi Mas Gandasari dan disegani karena disamping sebagai salah seorang pendekar juga, beliau juga dikenal sebagai seorang yang berjasa dalam penyebaran Agama Islam ditanah Cirebon. Makam beliau terletak di desa Karang Kendal Kecamatan Kapetakan, 21 Km dari Ibukota Sumber.

Makam Talun
Disini tempat dimakamkannya Mbah Kuwu Cirebon yaitu salah seorang pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon. Disamping sebagai tokoh masyarakat, beliau juga sangat disegani dalam ilmu pengetahuannya. Sehingga sampai saat ini masih banyak diziarahi oleh masyarakat Cirebon. Terletak di desa Cirebon Girang Kecamatan Cirebon Selatan 5 Km dari pusat Ibukota Sumber.

B e l a w a
Lokasi wisata ini berjarak kira-kira 25 km dari kota Sumber ke arah timur. Obyek wisata ini memiliki daya tarik dari kura-kura yang mempunyai ciri khusus di punggung dengan nama latin “Aquatic Tortose Ortilia norneensis.”
Menyimpan legenda menarik tentang keberadaannya di desa belawa kecamatan sedong,. Menurut penelitian merupakan spesies kura-kura yang langka dan patut di lindungi keberadaannya. Obyek wisata ini di rencanakan untuk di kembangkan menjadi kawasan yang lebih lengkap Taman kura-kura (Turtle park) atau taman reptilia.Sektor suasta dapat bekerjasama dengan pemerinta kabupaten untuk pengelolaan taman kura-kura tersebut.

Situ Sedong
Terletak di desa Sedong sekitar 26 km dari arah pusat Ibukota Sumber, dengan luas lahan 62,5 Ha. Selain mempunyai panorama yang indah,situ ini juga di sebut pula situ pengasingan yang merupakan tempat rekreasi air dan pemancingan. pihak pemerintah kabupaten mengundang para investor untuk bermitra dalam pengelolaan wisata ini.

Banyu Panas Palimanan
Obyek wisata ini terletak di desa Palimanan Barat kecamatan Palimanan sekitar 16 km dari Cirebon ke arah Bandung. Obyek wisata ini merupakan pemandian air panas dengan kadar belerang yang di percaya dapat menyebuhkan penyakit kulit. Pemandian air panas ini ada di sekitar bukit Gunung Kapur Gunung Kromong yang mempunyai keistimewaan mata air selalu berpindah pindah. pihak investor di undang untuk mengembangkan lokasi ini untuk di jadikan wisata spa.

P l a n g o n
Obyek wisata plangon berlokasi di kelurahan babakan kecamatan sumber -+ 10 km dari kota cirebon.Tempat rekreasi dengan panorama alam yang indah yang di huni oleh sekelompok kera liar. Selain selain tempat rekreasi, terdapat juga makam

Pangeran Kejaksan dan Pangeran Panjunan
Puncak acaranya biasa di masa ziarah Plangon tgl 2 syawal, 11 Dzulhijjah dan 27 Rajab.Untuk pengembangan wisata ini meliputi lahan sekitar 10 Ha, dan status tanah ini milik Kesultanan. Kapasitas pengunjung rata-rata sekitar 58.000 pengunjung/tahun. Obyek ini cukup mempunyai prospek untuk di kembangkan , peluang terbuka untuk pengelola lokasi wisata dan wisata dan bangunan makam.

Lapangan GOLF Ciperna
Kawasan ini berada di tepi jalan raya Cirebon Kuningan dengan kontur tanah berbukit berjarak 5 km ke selatan dari kota Cirebon, berada pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Daya tarik utama kawasan ini adalah keindahan pemandangan kota Cirebon dengan latar belakang laut lepas ke arah utara, sedangkan ke arah selatan Gunung Ciremai di suasana yang menarik. Berdasarkan perda nomor 25 tahun 1996, kawasan wisata Ciperna ditetapkan seluas 300 Ha yang di pertunjukan bagi 5 (lima) ruang kawasan pengembangan antara lain:
Kawasan wisata Agro Griya Pembangunan Agro Griya dalam bentuk rumah kebun yang dapat di sewakan dengan fasilitas Hotel Bintang.
Kawasan wisata Agro Tirta. Pembangunan Agro Tirta dalam bentuk pembuatan danau buatan yang di lengkapi rekreasi air.
Kawasan Agro Wisata I dan Kawasan Agro Wisata II. Agro wisata I dan II di arahkan dalam bentuk pembangunan kawasan perkebunan mangga gedong gincu, srikaya, atau tanaman jenis lainya. Di samping itu membangun track olah raga yang dapat menyesuaikan dengan kontur tanah sekitarnya.

Situ Patok
Luas Situ Patok 175 Ha yang terletak di desa setu patok sekita 6 km dari kota Cirebon ke arah Tegal, obyek wisata ini selain mempunyai panorama indah juga tersedia sarana rekreasi air dan pemancingan. Lokasi ini berpotensi untuk di kembangkan sekitar lahan 7 Ha, dengan status tanah negara . prasarana yang di perlukan pembuatan dermaga, pengadaan prahu motor dan sarana pemancingan. serta pembangunan rumah makan yang arstistik.jalan ke arah lokasi cukup baik dan lebar, jaringan aliran listrik sudah tersedia dan saat ini minat masyarakat untuk mengunjungi wisata ini cukup banyak

Cikalahang
Kawasan Cikalahang merupakan kawasan yang baru berkembang dengan daya dukung alam. sasaran wisatawan pada awalnya adalah obyek wisata Telaga Remis yang di kelola oleh perum perhutani KPH Kuningan dan berada di wilayah Kuningan. Hingga saat ini kawasan Telaga Remis masih menarik wisatawan yang dapat di andalkan dari segi income. Akan tetapi jalan menuju obyek wisata ini adalah melalui desa Cikalahang yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon,sehingga keberadaan memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar usaha lain sebagai daya pendukung. Di samping itu juga kawasan Cikalahang telah berkembang menjadi suatu kawasan yang mempunyai daya tarik sendiri yaitu dari usaha restoran/rumah makan ikan bakar. Dengan banyaknya peminat menjadi wilayah itu berkembang pesat menjadi daya tarik wisata makan, sehingga pada hari-hari libur penuh dikunjungi wisatawan.
Menjual keadaan alam yang menarik dengan sumber air dari kaki Gunung Ciremai yang tidak pernah kering, sangat memungkinkan untuk membuka peluang usaha kolam renang yang bersifat alami dengan fasilitas modern serta bumi perkemahan.
Kawasan wisata Cikalahang terletak sekitar 6 km dari Ibukota Kabupaten Cirebon di Sumber dan 1 km dari jalan alternatif Cirebon Majalengka dengan dengan lingkungan alam yang masih asri.

Wanawisata Ciwaringin
Hutan wisata dengan menampilkan keindahan alam dan banyak ditumbuhi oleh pohon kayu putih. Menyediakan lokasi bagi para penggemar jalan kaki dan arena motor cross. Di lokasi ini juga terdapat danau Ciranca bagi penggemar memancing. Berlokasi di desa Ciwaringin Kecamatan Ciwaringin, 17 Km dari Ibukota Sumber.

Wednesday, January 28

Sejarah Singkat Cirebon 

Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.(dikutip dari http://www.kabcirebon.go.id)

Makanan dan Minuman Khas Cirebon 

Nasi Jamblang :
Nasi jamblang adalah nasi yang di bungkus daun jati dengan lauk pauk yang bermacam-macam seperti paru, pusu, daging, tempe, tahu disertai dengan sambel khas cirebon dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Nasi Lengko :
Nasi putih yang dipadukan dengan tempe, tahu, mentimun toge dan daun kucai yang ditaburi bawang goreng dan kecap dan bumbu kacang dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Empal Gentong :
Makanan berkuah yang bersantan di padukan dengan daging. Dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon. Kebanyakan pedagang empal gentong berasal dari Desa Battembat
Tahu Gejrot ;
Tahu yang dipotong potong di tempatkan pada piring kecil terbuat dari tanah merah dengn bumbu gula merah dan bawang merah dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Bubur Sop :
Bubur yang berisi kol, daun bawang dan tauco disertai kuah sop yang ditarubi ayam suwir sama kerupuk. dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Sate Kalong :
Sate yang berjualannya menjelang magribdan satenya dari daging kerbau
Docang :
Lontong yang dipadukan daun singkong, toge, taburan kelapa parut dan kerupuk ditaburi dengan kuah terbuat dari dage/bumbu oncom
Mie Koclok :
Mie yang berisi toge, kol, dipadukan telor ayam dengan bumbu kuah santan
Kerupuk Udang :
Kerupuk khas goreng yang terbuat dengan racikan udang dan ikan dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Kerupuk Melarat :
Kerupuk yang berwarna warni terbuat dari aci yang proses penggorengan dengan menggunakan pasir, dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Kerupuk Lambak:
Kerupuk yang berwarna coklat kehitaman (warna kulit) terbuat dari kulit kerbau pilihan, dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Terasi Udang :
Terasi yang terbuat dari udang rebon sebagai bahan membuat sambal yang rasanya enak sekali.
Minuman Khas Cirebon
Tjanpolay :
Sejenis minuman dari sirup yang terkenal dari jaman dulu dapat diperoleh di berbagai tempat kota cirebon
Teh Poci :
Teh yang disuguhkan sejenis teko yang terbuat dari tanah liat (Poci) dan enak diminum pada malam hari dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Batik Cirebon Nan Eksotis 

Bukan seloroh semata seandainya ada yang mengatakan bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Karena tidak ada satupun daerah di Indonesia yang tidak dapat mengolah sumber daya alamnya secara tepat guna. Seperti halnya di Cirebon, daerah yang secara geografis berada di sebelah utara Jawa ini.
Cirebon yang banyak menghasilkan kekayaan dari laut, sejak dahulu memang sudah dikenal dengan oleh-oleh khas lautnya, seperti terasi, kerupuk udang, abon ebi, ikan asing, dan kecap udang.
Tidak itu saja, oleh-oleh lainnya yang cukup diminati adalah sirup simpolay. Sirup yang menggunakan bahan dasar gula batu ini memberikan cita rasa alami yang berbeda dengan sirup lainnya.
Khas yang tak kalah menggoda adalah emping, manisan, rengginang, hingga kerupuk melarat. Dimana makanan khas tersebut tidak semata dari Cirebon, tetapi juga perpaduan dari daerah sekitar, seperti dari Plered, Indramayu, dan Kuningan. Bahkan ada beberapa modifikasi menarik yang dibuat dengan menggunakan bahan sama.
Sebenarnya makanan tersebut lebih dikenal di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Namun, berkat pananganan yang piawai, seperti rasa dan penyajiannya, akan makanan ini dapat dirasakan setiap kalangan oleh toko-toko oleh-oleh yang menjamur di Cirebon.
Esotikisme Batik Trusmi
Tidak hanya di Yogyakarta, dan Solo saja, Cirebon juga terkenal dengan batiknya, terutama Batik Trusmi yang dibuat di desa Trusmi dalam warisan turun temurun. Sesuai dengan ciri khasnya, maka batik Trusmi juga mempunyai motif yang berbeda, yaitu kecil-kecil dan warna yang tidak mencolok. Warna dasar yang banyak digunakan adalah kuning gading, coklat muda, abu-abu, hitam, dan hijau. Sedangkan pola batik yang digunakan mempunyai istilah Megamendung, Wadas Singa, Naga Semirang, dan Taman Arum.
Batik yang mempunyai gaya Keraton (klasik), Kenduruan (batik Cina), dan Trusmi ini. Menggunakan pula berbagai macam kain sebagai media dasarnya, seperti katun Pekalongan, kain Paris, sutera Indonesia (mendekati sutera asli), sutera, dan alat tenun bukan mesin. Sama seperti pembuatan batik lainnya, proses yang digunakan ada yang tulis, cetak, dan printing.
Namun sayangnya, pengelolaan batik ini masih menggunakan manajemen tradisional dan kekeluargaan. Sehingga kualitas dan sistem pengelolannya masih kalah dengan Batik Yogya ataupun Solo yang lebih berkembang dan dikenal hingga ke mancanegara.
Bagaimana menuju ke sana ?
Kalau Anda ingin mengunjungi Desa Trusmi, letaknya di Kecamatan Weru, Plered, Cirebon. Jaraknya sekitar 15 km dari Cirebon.
Sedangakan bagi Anda yang ingin menikmati makanan khas Cirebon, kunjungi Pasar Kanoman, Pasar Pagi, Jaga Satru, atau Pujagalana (Pusat Jajanan Segala Ana) sekitar Komplek Gua Sunyaragi.

P.R.A. Arief Natadiningrat, S.E. Putra Mahkota Cirebon yang Bersahaja  

MENJADI pemimpin memang sudah menjadi takdir yang harus dijalani P.R.A. Arief Natadiningrat, S.E. Sebagai putra mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon, Arief adalah penerus tradisi dan budaya Kesultanan Kasepuhan.
SEBAGAI anak keturunan Prabu Siliwangi dan Syeh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Arief mewarisi darah kepemimpinan dari keduanya. Berdasarkan sejarahnya, pada abad XV Pangeran Cakrabuana putra mahkota Pajajaran membangun Keraton Pakungwati dan memproklamasikan kemerdekaanya dari kerajaan Pajajaran. Putrinya yang bernama Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya bernama Syekh Syarif Hidayatullah putra Ratu Mas Larasantang (adik Pangeran Cakrabuana).
Sejak kecil, Arief yang sudah dipersiapkan sebagai putra mahkota penerus Kesultanan Kasepuhan sudah dibiasakan dengan tradisi keraton. Akibatnya, tidak saja waktu bermainnya jadi tersita karenanya, tetapi juga lingkungan pergaulannya sangat terbatas.
Namun, ada saat Arief diberi kebebasan untuk melihat-lihat sekeliling keraton dan keliling kota, tentu dengan pengawalan kerabatnya.
“Pada saat-saat itulah, saya merasakan kebahagian tersendiri bisa melihat sekeliling keraton dan melihat-lihat kota,” ujar Arief mengenang masa kecilnya.
Seabrek jabatan di organisasi profesi dan kemasyarakatan selalu menunggu waktunya. Selain sebagai Ketua Yayasan Keraton Kasepuhan, ia juga sebagai Direktur PT Cirebon Raya Internasional, PT Nurjati Mas Internasional. Arief juga aktif di 30 Organisasi, di antaranya sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Pengadaan Barang dan Jasa Indonesia (Aspanji) Jabar juga Ketua Ardin Jabar.
Bapak tiga putra dan satu putri ini pun menjabat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kota Cirebon dan Ketua Badan Pengembangan Kawasan Andalan Ciayumajakuning (Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan). Jadwal kerjanya tidak hanya di Kota Cirebon dan sekitarnya. Sebagai putra mahkota, Arief juga mengemban kewajiban sebagai duta Keraton Kasepuhan sekaligus “duta budaya” Cirebon.
Saat “PR” berhasil “menyandera” Arief untuk sekadar ngobrol, telefon genggamnya tidak henti-hentinya berdering. Belum sempat menyelipkan “ponsel” di saku bajunya, suara musik dari “ponsel”-nya kembali mengalun. “Ini sih kebetulan saja banyak telefon yang masuk. Biasanya juga tidak sebanyak ini, mungkin sengaja mengganggu obrolan kita,” ujar Arief berseloroh. Sebagai putra mahkota, Arief harus bisa meleburkan diri dalam citra keraton. Meski demikian, bukan berarti Arief bersikap dan berperilaku feodal. Sebagai keturunan ulama dan umaro, Sunan Gunung Jati yang juga salah seorang dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa, Arief memiliki tanggung jawab juga untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai hidup dan kebaikan yang diajarkan leluhurnya.
Meski Arief sadar betul tingkatannya tidak sejajar dengan Sunan Gunung Jati, setidaknya ia berupaya menerapkan semua ajaran Islam yang mengajarkan humanisme, toleransi, kebaikan, keikhlasan, ketulusan, dan memberi tanpa pamrih. **
SEBAGAI pemimpin, baik di rumah maupun di organisasi kemasyarakatan, profesi, dan lainnya, Arief berusaha menerapkan betul sikap demokratis yang menjadi ciri khas ajaran Sunan Gunung Jati. Sikap demokratis itu bahkan tampak nyata dan diwujudkan dalam bentuk arsitektur campuran antara Islam, Hindu-Budha, dan Eropa. Bangunan keraton sekarang ini di bawah kekuasaan Sultan Sepuh ke XIII, P.R.A. H. Maulana Pakuningrat, S.H.
Begitu memasuki halaman kompleks keraton, kita akan langsung melihat pintu gerbang Keraton Kasepuhan dengan gaya Eropa dan berhiaskan motif pinggir awan di bagian atas serta motif karang di bagian bawahnya.
Sementara itu, pas di depan gerbang bergaya Eropa tersebut, tampak patung dua macan putih yang melambangkan Cirebon sebagai penerus Kerajaan Pajajaran. Keberadaan patung ini dengan sangat jelas memperlihatkan pengaruh budaya Hindu-Sunda sebagai agama resmi Kerajaan Pajajaran.
“Beliau (Sunan Gunung Jati) memang sangat demokratis dan toleran dan itu tercermin dalam arsitektur keraton yang merupakan akulturasi dari berbagai budaya,” katanya.
Dari pernikahannya dengan Syarifa Isye, Arief mendapatkan tiga putra dan satu putri, yakni si sulung Elang Raja (E.R.) Ari Rahmanudin, E.R. Lukman Zulkaedin, Ratu Raja (R.R.) S. Fatimah Nurhayani, dan si bungsu E.R. Muhammad Nusantara.
Putra sulung dan putra keduanya, saat ini duduk di bangku kelas II sekolah menengah pertama, sementara putrinya duduk di bangku terakhir sekolah dasar dan si bungsu masih di Taman Kanak-kanak (TK).
Kepada putra-putrinya, Arief selalu memberikan kebebasan baik dalam pendidikan maupun aktivitasnya. Hanya satu hal yang menjadi patokan Arief dalam mendidik anak-anaknya, yakni ia selalu menekankan anaknya agar menjadi anak yang saleh.
Dengan menjadi anak yang saleh, selain anak tidak lupa dengan perintah dan ajaran agama, tetapi dengan sendirinya menjadi orang yang berbakti dan hormat kepada orang tua, mendoakan orang tua, dan tidak akan mengecewakan orang tua.
Didikan mulia yang diajarkan secara turun temurun oleh orang tuanya tidak hanya diterapkan dalam keluarga, tetapi juga di luar lingkungan keraton sehingga menjadikan Arief figur yang patut diteladani. Sifatnya yang ramah tidak pernah memandang asal-usul lawan bicaranya dan sikapnya yang tegas terkadang membuatnya seperti sosok yang lebih tua dari umur sebenarnya.
Sikap rendah hati senantiasa diperlihatkan Arief dalam segala kesempatan. Termasuk ketika dirinya mendapat desakan dari arus bawah untuk mencalonkan diri dalam suksesi pucuk pimpinan di Kota Cirebon. Bapak tiga putra dan satu putri ini malah memilih jalan sebaliknya, dengan alasan dirinya masih banyak memiliki kekurangan.
**

DALAM kesempatan merayakan ulang tahunnya yang ke-37 yang berlangsung secara sederhana dan khidmat, Arief mengumumkan keputusannya untuk tidak mencalonkan diri. Langkah Arief yang menyatakan tidak akan mencalonkan diri dalam bursa calon Wali Kota Cirebon periode 2003-2008 tersebut tentu saja sangat mengejutkan dan mengundang berbagai komentar. Banyak alasan yang dikemukakan pihak yang kecewa dengan langkah Arief tersebut. Saking kecewanya atas keputusan Arief tersebut, mereka sampai menyatakan Arief tidak menghargai aspirasi arus bawah.
Atas kenyataan itu, Arief menjelaskan, tidak ada sama sekali niatnya untuk mengabaikan apalagi tidak menghargai arus bawah. Keputusan tersebut diambilnya dengan berbagai pertimbangan yang dinilainya cukup logis dan realistis.
“Dalam situasi multi krisis seperti sekarang ini kan Kota Cirebon membutuhkan pemimpin yang mumpuni selain tentu saja moralitasnya juga terpuji. Dia harus bisa membawa Cirebon ke arah yang lebih baik dari sekarang dan saya merasa belum mempunyai kelebihan untuk menjadi calon pemimpin sekaliber itu,” dalihnya.
Desakan berbagai kalangan yang meminta Arief tampil memimpin Cirebon, bukan tanpa alasan. Selain alasan bibit yakni keturunan Sunan Gunung Jati yang notabene adalah pendiri Kerajaan Cirebon dan ulama penyebar Islam di tanah Jawa, juga alasan bobot yakni wawasan, visi, dan misi Arief dalam berbagai organisasi yang dipimpinnya selama ini menunjukkan arah yang jelas.
Meski demikian, dalam obrolan seputar suksesi wali kota periode 2003-2008, P.R.A. Arief yang ditemui di kediamannya, menyatakan kesediaannya menjadi wali kota asalkan diminta masyarakat dan fraksi di DPRD. Namun, pihaknya tidak akan mencalonkan diri karena mencari jabatan tidak diperkenankan kedua orang tuanya.
“Kita serahkan kepada DPRD dan Masyarakat Kota Cirebon. Nasihat Gusti Sultan Sepuh XIII, orang tua saya bahwa saya tidak boleh mencari jabatan. Oleh karena itu, saya tidak mencalonkan, tetapi kalau dicalonkan oleh mayoritas masyarakat Cirebon dan fraksi-fraksi yang ada di DPRD, itu merupakan amanah. Saya harus menjalankan itu sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya serta seadil-adilnya,” ujarnya tenang.
Tentu saja dalam kesediaan untuk mengemban amanah itu, Arief tidak hanya bertangan kosong tanpa bekal apapun. Dalam soal kepemimpinan, figur Arief tentu sudah teruji. Sementara untuk menjawab pertanyaan kemana Cirebon akan dibawa Arief menjabarkannya dalam visi dan misi Kota Cirebon yang dikemas dalam program “Cirebon Raya”, singkatan dari “Ciptakan Masyarakat Kota Cirebon yang Sejahtera dan Berdaya”.
Namun, terlepas dari semua itu, Arief mendukung sepenuhnya siapa pun yang nanti akan terpilih untuk memimpin Kota Cirebon menuju masa depan yang lebih baik. Tentu saja dengan catatan, proses pemilihan berjalan dengan fair, demokratis, dan bersih dari praktik money politics.

”Hibriditas” Budaya Cirebon Sebuah Identitas 

Oleh DEDE WAHIDIN*

“IBARAT bulan tanpa awan. Semburat sinarnya yang begitu indah tidak lebih dari pantulan sinar matahari!” Demikian Nurdin M. Noor, budayawan Cirebon, mengandaikan kebudayaan daerah kelahirannya. Hasilnya, Nurdin menyimpulkan bahwa sosok kebudayaan Cirebon yang berkembang hingga saat ini bukan merupakan cerminan “karya, karsa, dan rasa” (buah pikiran; akal budi) manusia Cirebon itu sendiri, melainkan lebih merupakan pem-bias-an dari kebudayaan asing (Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, dll.). Hal itu pun kemudian diamini oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang dengan segenap ketegasannya mengatakan bahwa budaya Cirebon tidak memiliki identitas yang jelas?
Pernyataan kedua orang putra Cirebon yang terbilang cukup kontroversial itu mengemuka dalam sebuah forum resmi, yakni pada saat keduanya didaulat menjadi nara sumber (pembicara) dalam seminar sehari kebudayaan Cirebon. Perhelatannya itu sendiri digelar oleh Pusat Studi Kebudayaan UGM (28/1/03) di Wisma Kagama Yogyakarta. Pernyataan-pernyataan dua dari lima orang pembicara yang notabene pelaku budayanya itu sendiri cenderung spekulatif. “Alih-alih mengidentifikasi Cirebon sebagai topik pembicaraan utama, sebaliknya malah keduanya mengumumkan ketidakjelasan sosok Cirebon!”, tulis diding Adut Karyadi, sengit (Mitra Dialog, 1/2/03).
Tentu saja hal itu tidak hanya menimbulkan berbagai pertanyaan bernada heran, tetapi sekaligus memicu perdebatan panjang, khususnya bagi peserta dari Cirebon — sebanyak satu bus — yang sengaja didatangkan oleh pihak panitia. Persoalannya adalah benarkah Cirebon tidak memiliki kepribadian yang jelas? Namun, lepas dari semua persoalan di atas, tulisan ini tidak bermaksud mengadili Nurdin dan Alwy, tetapi akan mencoba lebih jauh menelisik berbagai faktor dan indikator yang pada akhirnya diharapkan dapat mengungkap, paling tidak mendekati, apa dan siapa Cirebon yang sebenarnya?
Memperbincangkan dirinya

Dalam perspektif kebudayaan, diakui atau tidak, Cirebon sesungguhnya merupakan sebuah fenomena menarik yang banyak menyedot perhatian berbagai kalangan. Cirebon ternyata tidak hanya diperbincangkan, tetapi juga memperbincangkan dirinya. Bagai sebuah misteri, pada saat-saat peristiwa budaya berlangsung, Cirebon menjadi pusat perhatian, dari yang hanya sekadar ingin tahu sampai yang melakukan berbagai penelitian. Sehingga — menurut istilah Arthur S. Nalan — dewasa ini Cirebon telah menjadi sebuah wilayah yang sudah lidig (tanah yang penuh dengan jejak kaki). Hal itu secara eksplisit memberi petunjuk pada kita bahwa sosok daerah itu memiliki daya tarik tersendiri, terutama yang menunjuk pada relasinya dengan tipikal seni budayanya yang unik.
Terbentuknya unikum budaya Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakatnya
hingga dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor geografis dan historis. Dalam konteks ini, sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Oleh karena itu, dalam posisinya yang demikian itu, Cirebon menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan mendalam. Cirebon menjadi daerah melting pot, tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.
Menurut Pustaka Jawadwipa, pada tahun 1447 M, kaum pendatang yang kemudian menjadi penduduk Cirebon saat itu, berjumlah sekira 346 orang yang mencakup sembilan rumpun etnis, seperti Sunda, Jawa, Sumatera, Semenanjung, India, Parsi, Syam (Siria), Arab, dan Cina. Sebagai konsekuensi logis dari realitas masyarakat yang sedemikian plural, proses akulturasi budaya dan sinkrentisme menjadi sebuah keniscayaan yang tak terlekan.
Suatu hal yang menarik dalam konteks sosial masyarakat penghuni wilayah yang sebelumnya dikenal dukuh Kebon Pesisir itu, secara budaya kelompok-kelompok etnis tersebut di atas berbaur satu sama lain, saling melengkapi. Secara kasat mata, kita dapat melihat dan menyimak bagaimana pengaruh Hindu-Budha, Cina, Islam dan Barat — di samping tetap adanya budaya leluhur (primadona) — menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang khas. Bermula dari situ pulalah, konstruksi budaya Cirebon dibangun. Sentuhan-sentuhan genetika budaya primordial yang beragam, secara demografis memainkan peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan karakteristik, dan sekaligus melahirkan budaya yang cenderung hibrid.
Demikianlah realitas budaya Cirebon. Identitas yang hibrid itu kemudian diejawantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukan, hingga bangunan-bangunan ibadah (Setiadi Sopandi), Kompas 16/3/03). Namun, serapan-serapan budaya sering kali tidak hanya berbentuk seni, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari yang sifatnya sangat mendasar, seperti pada sistem kepercayaan masyarakatnya.
Secara simbolik hibriditas kebudayaan Cirebon tampak pada bentuk ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan berbelalai gajah. Hal tersebut menyiratkan makna yang sangat mendalam bahwa konstruksi kebudayaan Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman).
Inilah realitas yang tak terbantahkan, Paksi Nagaliman adalah simbol identitas budaya Caruban. Kata caruban itu sendiri yang mengandung makna campuran, kelak kemudian menjadi cikal bakal nama daerah yang didirikan oleh putra sulung Prabu Siliwangi, Walangsungsang. Dari kata Caruban itu kemudian berubah ucapan menjadi Carbon, Cerbon, Crebon dan akhirnya Cirebon sampai sekarang.
Kecenderungan kultural yang hibrid itu, seperti telah disinggung di atas, tampak pada berbagai jenis kesenian tradisional. Sebut saja Topeng Cirebon misalnya, terutama dalam unsur-unsur visualnya adalah pengaruh budaya Cina. Dalam hal ini Saini KM mengungkapkan, betapa miripnya hiasan kepala (tekes, siger) dan topeng (kedok) yang dikenakan oleh tokoh-tokoh Topeng Cirebon dengan tokoh-tokoh Opera Peking. Memang, pengaruh budaya Cina begitu kuat mewarnai bentuk-bentuk kesenian milik masyarakat Cirebon. Simak saja batik Trusmi dan lukisan kaca, ornamentasi kedua bentuk karya seni rumpun seni rupa itu (mega mendung dan wadasan) hasil adopsi dari motif-motif lukisan Cina. Juga seni helaran Berokan mirip
benar dengan seni pertunjukan Barongsay. Harus diakui pula, dalam sistem kepercayaan masyarakatnya sekalipun atas kehebatannya Sunan Gunung Jati yang telah menjadikan Islam sebagai basis religi, tetapi apabila kita cermati lebih seksama, reduksi arkais budaya asli dan Hindu bercampur menjadi bagian folkways (tradisi, adat kebiasaan) wong Cerbon. Hal-hal semacam itu perwujudannya dapat kita lihat pada berbagai peristiwa keadatan, seperti dalam upacara adat Ngunjung, Nadran, Bancakan, Mapag Sri, Bubarikan, Mider tanah/Sedekah Bumi, dll. Tradisi yang sampai saat ini dipertahankan dan dijalani oleh pewarisnya di berbagai wilayah budaya Cirebon, secara sadar atau tidak mampu memunculkan pemandangan yang
eksotik, di mana aura sinkretisme begitu kental tampak dalam prosesi ritual tersebut.
Fenomena lain yang turut mempertegas hibriditas budaya Cirebon adalah bahaya, di mana dalam sistem komunikasi masyarakatnya, bahasa Cirebon merupakan campur aduk antara bahasa Sunda dan Jawa. Tentu saja hal ini terjadi lebih merupakan sebagai akibat logis dari posisi Cirebon yang secara geografis berada pada wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam posisi yang demikian, tidak mengherankan apabila masyarakat dan kebudayaan Cirebon kemudian menempatkan diri dalam posisi ambivalen. Seperti diungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Faruk, di satu pihak Cirebon dapat disebut sebagai daerah yang paling
rendah tingkat aksesnya ke dalam pusat kebudayaan dan kekuasaan di kedua wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akan tetapi, di lain pihak, ia bisa pula dianggap sebagai suatu wilayah yang paling bebas dari kontrol kedua pusat di atas.
Dari kecenderungan yang disebut terakhir, masyarakat Cirebon relatif tidak memiliki beban kultural untuk menerima hal-hal baru, yang asing sekalipun. Lalu mereka adaptasi menurut kebutuhan mereka sendiri. Bahasa Cirebon tidak alergi terhadap ekspresi Sunda dan begitu sebaliknya. Jangan heran jika orang Cirebon dapat berkomunikasi ya Nyunda ya Njawa.
Kelincahan imajinatif dalam memainkan berbagai kekuatan kultural dari luar adalah sisi lain dari kelebihan masyarakat Cirebon dalam mengekspresikan emosional estetisnya. Proses kreatif imajinatif seperti itu akhirnya kemudian berimplikasi pada terbentuknya local colur dan sekaligus local genius budaya Cirebon. Tarling, topeng Cirebon, dan lukisan kaca adalah contoh yang paling nyata dari kecenderungan demikian. Ketiganya merupakan bentuk presentasi artistik adaptif dari berbagai kekuatan kultural tersebut di atas. Yang paling penting adalah tiga dari sekian
banyak genre kesenian tradisional khas Cirebon itu, hingga saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dan bahkan telah menjadi aset nasional.
Tak ada alasan bimbang
Dalam konteks perbincangan di atas, tak ada alasan bagi masyarakat Cirebon untuk merasa bimbang dan ragu akan jati dirinya, terlebih lagi apabila sampai terjebak pada situasi yang inferior. Alasannya, betapa pun letak wilayah Cirebon berada pada posisi “marginal”, dalam arti jauh dari pusat kebudayaan dan kekuasaan propinsial, tidak berarti eksistensi masyarakat dan kebudayaan Cirebon menjadi tidak penting (periferal) ke dalam posisi sentral. Hanya masyarakat pemilik kebudayaannya itu sendiri lebih cenderung merasa sebagai komunitas yang terabaikan.
Sebaliknya, apabila jauhnya jarak geografis wilayah Cirebon dari pusat kebudayaan dan kekuasaan itu mampu dibaca dan dimaknai sebagai besarnya peluang untuk merdeka, bebas dari kontrol pusat untuk menentukan hak berbudaya, semestinya wong Cerbon dapat dengan leluasa melakukan berbagai eksplorasi sebagaimana yang dilakukan pendahulunya yang dengan segala daya upaya mereka mampu menciptakan sebuah formulasi kultural dari berbagai sistem kepercayaan yang tak ternilai harganya. Hibriditas budaya Cirebon adalah realitas sejarah. Kenyataan itu telah diakui kalangan pemerhati kebudayaan sebagai sebuah karya kolaborasi multikultural yang memiliki daya tarik tersendiri. Oleh karena itu, hal yang paling urgen untuk dilakukan saat ini adalah merekonstruksi sejarah Cirebon itu sendiri. Dengan demikian, upaya-upaya pembaruan adalah tindakan yang patut dilakukan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan menciptakan inovasi baru karena bagaimanapun sifat dasar kebudayaan adalah perubahan. Kebudayaan senantiasa memperbaharui dirinya seiring dengan perkembangan zaman.
Di sinilah pentingnya kreativitas, namun agar tetap terjaganya daya survive, di samping dapt dikembangkan melalui dialog dengan budaya-budaya lain, tapi yang utama tetap harus merujuk pada tradisi sendiri, budaya primordial (leluhur). Dengan demikian, masyarakat Cirebon dapat mendefinisikan dirinya sebagai masyarakat yang terbuka tanpa harus menafikan adikarya nenek moyangnya.***

*) Penulis adalah pemerhati seni budaya daerah. Tinggal di Cirebon.

Tiga Keraton Cirebon 

Libur Lebaran lumayan panjang. Tak ingin menyia-nyiakan waktu selama itu untuk berdiam diri di rumah, kami pun merencanakan perjalanan ke salah satu kota di pulau Jawa. Cirebon, itu pilihan kami. Kota ini menjadi kota transit bagi para pemudik yang ingin bersilaturahmi ke kampung halaman di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, bukan itu alasan kami memilih kota ini sebagai tujuan perjalanan. Kota yang terletak di jalur pantai utara ini menyimpan banyak objek wisata, terutama karena peninggalan-peninggalan fisik sejarah masa lalu.
Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon—atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil). Ini bisa dilihat dari oleh-oleh khas kota ini yang kebanyakan berasal dari olahan udang.
Tulisan ini merupakan rangkuman hasil pengamatan dan pengalaman selama dalam perjalanan tim ”SH”—yang terdiri dari Bayu Dwi Mardana, Desman, Ida Rosdalina, Job Palar—ke kota rebon ini.
Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu saja mentok karena tentangan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di Keraton Kanoman pada tahun 1803.
Di saat yang sama di negeri Belanda nun jauh di seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda diduduki Prancis dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota pelabuhan penting bernama Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan basis kekuasaannya sendiri.
Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels sebagai penguasa baru utusan Prancis tidak mengganti seluruh pejabat Belanda di negeri ini.
Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman wafat, Belanda mulai melancarkan siasat busuk yang selalu saja mengena diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera.
Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai ”penguasa sesungguhnya” tentu saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah melantik putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan Anom V.
Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat jelas lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan mereka yang sah. Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari lingkungan Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak.
Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun menangkapnya dan membawa sang pangeran ke Batavia. Batavia dekat dengan Banten, Banten adalah sekutu ”sedarah” dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini terjadi di Batavia. Keadaan makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada Sultan ”boneka” buatan Belanda alias Sultan Anom V.
Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jika pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa, maka rakyat akan merasa kehilangan target untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun.
Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan menghadapi perlawanan ”para pemberontak”.
Deandels tentu kesal dengan kebijakan ”para anak buahnya” ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja Kanoman harus dibawa kembali ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1 Januari 1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.
Sementara di Cirebon sendiri, keraton baru disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat Pangeran Anom bertahta. Pada 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Rakyat pun mengelu-elukan Sultan baru ini. Cirebon pun akhirnya resmi memiliki tiga keraton, Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang ikhlas. Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Kasultanan Kacirebonan. Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan baru ini sehingga kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan politik sang Sultan, termasuk Sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.
Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi perjuangan yang dilakukan rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon adalah ia tidak mau menerima gaji dari pemerintah Hindia Belanda sampai akhir hayatnya.
Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka. Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus tahta. Statusnya diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan yang lain, Kasepuhan dan Kanoman.
Suram

Gengsi yang hilang ini pun berbekas sampai saat ini. Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah ”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang terakhir.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.
Kasepuhan

Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.
Kanoman
Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.
Keramik Cina

Alkisah, seorang raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati alias Syech Syarief Hidayatullah datang untuk menguji kesaktian san sunan. Oleh raja, Sunan diminta untuk menebak apakah anaknya Tan Hong Tien Nio yang populer dengan sebutan Putri Ong Tien hamil atau tidak. Sunan menebak sang putri hamil, padahal perut sang putir sengaja diisi tempat beras agar kelihatan hamil.
Sunan Gunung Jati ditertawakan oleh para pembesar raja. Namun, ternyata sang putri benar-benar hamil. Untuk menghindari malu, Putri Ong Tien pun dikawinkan oleh raja dengan Sunan Gunung Jati. Rombongan besar pengantin datang dari Cina ke Cirebon dengan membawa keramik, porselen, piring, dan barang-barang khas Cina lainnya.
Kisah ini tak jelas kebenarannya. Yang jelas, kisah ini menuturkan persentuhan budaya antara Islam dan Cina. Makam Putri Ong Tien pun bisa dijumpai di sisi makam Sunan Gunung Jati.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal Cina.
Sekali lagi sayang, tangan-tangan jahil mencopoti porselen-porselen yang menghiasi dinding-dinding di setiap bangunan bersejarah. (*)

SATU ASAL, TAPI TAK SENASIB  

Alkisah, tersebutlah sepasang putra-putri gedongan (saat itu) terusir dari rumahnya. Keduanya anak Prabu Siliwangi, maharaja terkenal Kerajaan Hindu Pajajaran yang murka karena mereka memeluk agama Islam. Putra mahkota Pangeran Walangsungsang dan Ratu Larasantang lantas mencari tempat tinggal yang representatif, sembari berguru pada ulama bernama Syekh Dhatul Kahfi, konon berasal dari Baghdad.
Atas saran sang guru, sekitar tahun 1430, Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuwana alias Pangeran Kiansantang mendirikan pondokan. Ia menamai pondok itu Witana, berasal dari kata awit ana, artinya pertama ada. Konon, inilah bangunan pertama alias cikal bakal Kota Cirebon. Usai membangun padepokan, mereka berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Dasar jodoh, Ratu Larasantang malah ditaksir Raja Khut dari Mesir. Jadilah mereka sepasang suami istri.
Dari rahim Larasantang, lahir sepasang jejaka ganteng, Syarief Hidayatullah dan Syarief Nurullah. Sedangkan Pangeran Kiansantang yang beristrikan Nyai Indang Geulis hanya dikaruniai seorang putri, Ratu Ayu Pakungwati. Saking sayang pada putri semata wayangnya, pangeran membangun pesanggrahan dekat Sungai Kriyan, diberi nama serupa dengan panggilan sang belahan jiwa. Pada 1549, pesanggrahan Pakungwati diperluas, hingga menjadi Keraton Pakungwati.
Ratu Ayu Pakungwati, dilegendakan sebagai putri nan cantik jelita, menikah dengan sepupunya, Syarif Hidayatullah. Syarif yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati, dinobatkan sebagai penguasa Cirebon, bermarkas di Keraton Pakungwati. Waktu terus berlalu, sampai akhirnya, di era Penembahan Ratu Pakungwati II (1649 – 1662, raja kelima setelah Sunan Gunung Jati), Kesultanan Cirebon pecah menjadi dua. Ada banyak versi tentang perpecahan itu. Ada yang mengatakan, akibat pertengkaran kakak beradik. Ada pula yang menyebutnya usulan penguasa Kerajaan Demak, Sultan Ageng Tirtayasa.
Anak tertua Penembahan, Pangeran Muhammad Badarudin, pada 1588 membangun keraton sendiri di Kanoman, dengan memperluas bangunan Witana. Sementara adiknya, Pangeran Muhammad Syamsudin menempati Keraton Pakungwati, yang lalu diubah namanya menjadi Keraton Kesepuhan. Di zaman Belanda, tumbuh keraton-keraton kecil tanpa kekuasaan, seperti Kacirebonan. Namun karena bersifat simbolis, keraton-keraton itu tak berumur panjang.
Kini, 631 tahun sejak Witana dibangun, Keraton Kesepuhan dan Kanoman tetap tegak berdiri. Kesepuhan, yang terletak berhadapan dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, tampak seperti layaknya objek wisata dengan tembok-tembok bangunannya yang bersih terawat. Begitu masuk, pengunjung harus membeli karcis Rp 2.000,- per orang. Benda-benda pusaka pun ditempatkan khusus di museum dalam lingkungan keraton. Pendek kata, bantuan Pemda Cirebon tampaknya berhasil membuat Kesepuhan jadi saksi bisu sejarah Cirebon nan asri.
Sayangnya, sulit menemui suasana serupa di Kanoman. Alun-alun utamanya (bagian tengahnya terdapat pohon beringin raksasa) kini disesaki bangunan pasar. Wisatawan pasti lebih mengenalnya sebagai Pasar Kanoman, bukan tanah keraton. Pintu masuk utamanya berfungsi pula sebagai pintu masuk pasar tradisional, yang becek bukan main jika turun hujan. Tembok-tembok merah seputar keraton, kotor berlumut. Di sana-sini tercecer sampah buangan para pejalan kaki yang sekadar numpang lewat halaman keraton. Apakah ini karena pengunjung situs bersejarah ini sama sekali tak dipungut bayaran, sehingga jadi kurang peduli dengan peninggalan sejarah?
Tak jelas, mengapa dua keraton warisan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia itu mesti berbeda nasib. Padahal, jarak yang memisahkan keduanya hanya sekitar 1 km, berupa jalan aspal dan perumahan penduduk.
“Saya sendiri tidak tahu, mengapa bisa begini,” ujar Ratu Mawar, yang masih setia tinggal dalam lingkungan Keraton Kanoman. Jawaban dari pemda pun kurang memuaskan. Kabarnya, bantuan pemerintah amat tak sebanding dengan biaya operasional, yang mencapai Rp 5 juta per bulan.

Malam 1 Suro di Cirebon  

Jangan mengaku penggemar setia film nasional kalau tak pernah menonton atau mendengar Malam Satu Suro-nya bintang seksi Suzanna. Kisah dalam film bioskop beberapa tahun lalu itu mungkin jauh dari gambaran sebuah malam keramat. Tapi setidaknya menunjukkan 1 Suro bermakna khusus. Banyak yang percaya, momen itu berhubungan dengan hal gaib dan pengalaman luar biasa.
Coba simak ritus di pusat-pusat kebudayaan Jawa masa silam. Lebih khusus lagi, keraton-keraton yang dulu pernah berperan sebagai pusat kekuasaan. Di Kasunanan Surakarta contohnya, paling terkenal adalah acara kirab pusaka kerajaan berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Muharram. Konon, ritus itu sudah dilakukan sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745.
Ribuan orang suka rela membanjiri Kota Solo, guna menyaksikan agenda tahunan ini. Uniknya, barisan kirab justru didahului sembilan ekor kerbau bule, yang semuanya bernama Kiai Slamet. Kesembilan kerbau bule dan keturunannya itu bukan kerbau sembarangan, karena mereka kesayangan Sunan. Percaya atau tidak, mereka punya hobi berkelana. Namun, menjelang 1 Suro, seperti sudah menghayati peran sejarahnya, mereka berkumpul kembali di alun-alun selatan Surakarta.
Suasana tak kalah sakral amat terasa di Keraton Yogyakarta. Menjelang tengah malam, bisa disaksikan ribuan orang melakukan upacara mubeng beteng, mengelilingi benteng keraton tanpa berucap kata sepatah pun. Sedangkan di alun-alun selatan, ratusan orang melakukan masangin, dengan mata tertutup berjalan di antara dua pohon beringin (kembar) yang ada di tengah alun-alun. Upacara paling sakral, melakukan jamasan (pembersihan) seluruh pusaka keraton, dilakukan 26 Suro.
Masa peralihan menuju penanggalan baru Jawa (1 Suro) atau tahun baru Islam (1 Muharram) memang kerap dianggap mendatangkan berkah. Bahkan berkembang kepercayaan, berdoa dan tirakat di tempat-tempat bersejarah dan keramat bisa membuat keinginan terkabul. Sebuah fenomena (oleh Sumanto Al Qurtuby, peneliti Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, Semarang, disebut sebagai agama humanistik) yang mensahkan seseorang tampil modern dan logis di suatu waktu, namun sangat tradisional dan mistis di kurun waktu yang lain.
Berlainan akar

Gejala serupa bisa ditemui dalam peringatan 1 Suro atau 1 Muharram (tahun ini jatuh pada tanggal 26 Maret) di Cirebon, bekas pusat Kerajaan Islam besar di perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah. Bedanya, ritus yang melibatkan dua keraton utamanya, Kesepuhan (dari kata sepuh, maknanya lebih tua) dan Kanoman (dari kata anom, lebih muda) tak sebanyak di Solo dan Yogyakarta. “Tapi bukan berarti nilai sakralnya berkurang. Kesakralan itu tergantung bagaimana hati kita memandang,” ucap Ratu Mawar, putri Sultan Haji Muhammad Djalaludin alias Sultan Kanoman XI, penguasa teranyar keraton Kanoman.
Melihat jumlah acara, inisiatif meramaikan 1 Suro justru lebih banyak datang dari Pemda Kotamadya Cirebon. Seperti “Helaran (pergelaran – Red.) Budaya” yang digelar di depan balai kota, dua hari menjelang 1 Muharram. “Helaran” menyajikan pertunjukan sendratari kolosal “Babad Cirebon” yang berlangsung satu jam. Drama gerak yang dibawakan puluhan penari itu diakhiri dengan penancapan “Pohon Witana”, pondokan cikal bakal Cirebon. Selanjutnya, dilakukan pawai prajurit Keraton Kesepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Pemda pun mengadakan lomba gerak jalan, pertandingan olahraga antarinstansi. Bahkan dua hari setelah acara “Helaran”, walikota Cirebon mengadakan Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka HUT Cirebon.
Seorang wisatawan asal Belanda yang menghadiri rangkaian acara itu sempat bertanya-tanya. “Apakah peringatan 1 Suro di Cirebon sudah berubah jadi kegiatan formal?” Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab jika wisatawan itu hanya singgah satu-dua malam di kota pantai utara Jawa itu.
Tak kurang Sultan Anom, sebutan bagi penguasa Keraton Kanoman mengakui kebenaran pandangan sang wisman. “Tak apa toh, tradisi kita berbeda dengan Keraton Solo dan Yogya. Masing-masing memiliki latar belakang sejarah berlainan,” ujarnya di Bangsal Dalem Kanoman.
Ya, akar sejarah inilah kunci yang membedakan 1 Suro di Kota Udang. Bagi warga Cirebon, maknanya bukan sekadar malam penuh berkat dan keramat, tapi juga hari jadi. Tahun ini, Cirebon genap berusia 631 tahun.
“Mungkin, para pendirinya sengaja membangun Cirebon pas 1 Muharram, supaya bagus,” tutur Sultan. Ini sekaligus menjawab, mengapa Pemda Cirebon merasa sangat berkepentingan memarakkan peringatan 1 Suro.
Karena aboge, terlambat sehari

Satu lagi perbedaan Cirebon dengan dua keraton lainnya adalah penetapan awal tahun Jawa. “Satu Suro di sini, mungkin dua Suro di sana. Anggap saja kita telat sehari,” tambah Ratu Mawar. Perbedaan ini karena metode menghitung di Cirebon memang lain. “Istilahnya aboge,” jelas wanita lajang usia 26 tahun itu.
Keraton sendiri, meski tak banyak, tetap menggelar sejumlah acara ritual. Di Kanoman misalnya, satu hari menjelang 1 Muharram, diadakan khitanan massal bagi anak-anak warga masyarakat sekitar. “Mereka kami bekali dengan baju kampret (serupa baju koko), peci, sarung, sandal, makanan, dan uang Rp 50 ribu,” tutur Pangeran Raja H. Muhamad Imamuddin, adik laki-laki tertua Sultan, yang kerap mewakili kakaknya di berbagai acara sosial.
Sebelumnya, mereka berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati, membaca salawat dan tahlil. Sedangkan puncak peringatan, pembacaan “Babad Cirebon”, dilaksanakan persis di malam 1 Suro. Babad yang menceritakan awal berdirinya Kerajaan Cirebon ini dibacakan langsung Pangeran Muhammad Amaludin, putra Sultan.
Dulu, acara ritual itu diadakan di bangunan Witana, di belakang Keraton Kanoman. Tapi, karena bangunan itu sudah terlalu tua dan khawatir rusak, acara dialihkan ke pendopo utama. Selama membaca naskah, Amal – begitu Amaludin dipanggil – didampingi tujuh abdi. Tiga orang masing-masing membawa baki berisi naskah babad, tempat kemenyan, meja kecil, sedangkan yang empat orang membawa lilin. Tak ketinggalan, didampingi pula enam ulama sepuh.
Usai pembacaan babad, acara dilanjutkan dengan persembahan nasi tumpeng kepada khalayak yang hadir. Di sini tampak betapa daya tarik magis keraton masih berkibar buat kalangan tertentu. Bak “singa lapar”, ratusan pengunjung berebut tumpeng yang jumlahnya belasan.
“Bukan makanannya, tapi berkahnya yang saya cari,” aku seorang pemilik toko di Pasar Kanoman. Ia percaya, banyak sedikitnya makanan yang bisa disantap berpengaruh terhadap rezeki yang bakal diterima.
Cuci jimat tradisional

Di Keraton Kesepuhan, acara paling menonjol dalam menyambut 1 Suro hanya pencucian benda-benda pusaka yang tersimpan di museum keraton. Itu pun tidak dilakukan persis pada malam peralihan tahun. “Tapi secara bertahap, antara 1 hingga 10 Suro,” tegas “Lurah Dalem” Kesepuhan Mohamad Maskun, pemimpin upacara pencucian. Lurah Dalem merupakan jabatan di lingkungan keraton yang bertugas mengurusi masalah internal keraton.
Persoalan ke luar, seperti hubungan dengan penduduk sekitar, ditangani oleh Lurah Magersari. Nah, kedua lurah (penjabatnya tak mesti keluarga Sultan) itu punya seorang atasan langsung, disebut Lurah Kepala.
Adakah upacara khusus sebelum pencucian? “Ada pembacaan doa. Tapi, acara itu tidak melibatkan Sultan, karena pusaka utama, seperti Kereta Singa Barong dan Piring Panjang Jimat tidak masuk daftar,” tandas Maskun.
Meski tak melibatkan jimat Sultan Sepuh (sebutan penguasa Keraton Kesepuhan), tetap ada syarat yang tak bisa ditinggalkan. Seperti larangan menggunakan zat kimia untuk melunturkan karat. Sekuat apa pun karatnya, tetap harus dibersihkan dengan ramuan tradisional, semisal campuran jeruk nipis dan air kelapa. Awalnya, benda-benda pusaka itu direndam dalam bak besar. Lama perendaman antara 2 hari – 1 minggu. “Tergantung banyak-sedikitnya karat dan kotoran yang menempel,” ujar Maskun.
Selesai direndam, sang pusaka dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Tak ada patokan harus memakai bunga tertentu. “Yang penting jumlahnya tujuh macam dan, tentu saja, masih segar,” tambah Maskun. Tapi, bunga-bunga pembawa wangi klasik, seperti mawar dan melati lazim dipakai. Pusaka-pusaka kecil, seperti keris, pisau, atau tombak biasanya selesai paling awal. Sementara benda seperti tameng (perisai) perang, gamelan, dan sejenisnya jelas tak bisa diselesaikan dalam satu-dua hari. Itu sebabnya, total waktu pencucian bisa mencapai 10 hari.
Memasuki tahun baru, ternyata tak hanya manusia yang merasa perlu “bersih diri”, benda pusaka pun perlu tampilan baru. (Muhammad Sulhi)

Sekilas Babad Cirebon 

Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh Raja Galuh dijawab dengan mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara. (lebih lengkap menyusul)